Mengelola AI dalam Pendidikan Tinggi
Kehadiran kecerdasan buatan generatif (Generative AI/Gen AI) dalam dunia pendidikan tidak dapat dielakkan. Menolak kehadirannya, ibarat membenamkan diri pada ketertinggalan kemajuan teknologi. Nyatanya, banyak manfaat yang dapat dipetik dari kecerdasan buatan generatif dan bahkan banyak perusahaan besar yang telah menggunakan Gen AI untuk meningkatkan produktivitas kerja. Secara global, adopsi AI di sektor industri telah mencapai 56 persen, dengan generative AI diperkirakan dapat menyumbang hingga USD 4,4 triliun per tahun bagi ekonomi global (https://indonesia.go.id).
Sayangnya, perkembangan ini sepertinya belum mendapat respon yang sigap dari pemerintah Indonesia. Faktanya, berdasarkan Global AI Index 2023 mengutip laman indonesia.go.id, Indonesia masih berada di peringkat ke-46 dari 62 negara, yang menunjukkan perlunya peningkatan infrastruktur digital untuk menghadapi tantangan dalam pengembangan AI.
Dalam lanskap pendidikan penggunaan AI juga masih menjadi perdebatan di kalangan para pendidik antara mengizinkan atau melarang. Larangan penggunaan Gen AI dalam lembaga pendidikan terjadi karena ada kekhawatiran akan dampak negatifnya, seperti penggunaan Gen AI untuk mencontek dan plagiarisme tugas tertulis, seperti tugas menulis esai atau makalah.
Dalam sebuah survei, sekitar sepertiga dari mahasiswa yang disurvei (dengan sampel 1000) di AS telah menggunakan chatbot AI seperti Chat GPT untuk menyelesaikan tugas tertulis mereka, dengan 60% menggunakan program tersebut pada lebih dari setengah dari tugas mereka (intelligent.com, 2023).
Di Indonesia, belum ada survei masif terkait penggunaan Gen AI untuk menyelesaikan tugas akhir seperti skripsi. Namun, dengan masifnya iklan di media sosial tentang penggunaan GenAI untuk membuat makalah dan bahkan artikel jurnal, mungkin saja mahasiswa dan bahkan dosen telah menggunakan Gen AI untuk mengerjakan tugas tersebut.
Penelitian skala kecil yang dilakukan oleh Abbas (2023) menemukan bahwa 51.4% dari 35 mahasiswa setuju jika AI membantu mereka dalam menyelesaikan tugas akhir-karya tulis ilmiah (TA-KTI). Selanjutnya, 45.7% atau sebanyak 16 mahasiswa menyatakan mereka menggunakan AI dalam penulisan TA-KTI hanya di bagian tertentu.
Penelitian lain dengan responden lebih banyak (430) yang dilakukan oleh Niyu dkk (2024) dengan melibatkan 119 dosen dan 311 mahasiswa menunjukkan bahwa dibandingkan dengan mahasiswa, kalangan dosen lebih banyak yang mengetahui dan menggunakan Chat GPT. Meskipun demikian, sistem sosial mengenai penggunaan Chat GPT di bidang akademik belum terbentuk dan saat ini sebagian besar pendidik menganggap penggunaan Chat GPT tidak etis.
Protokol Penggunaan
Kemendikbudristek telah menerbitkan protokol penggunaan AI meski bisa dikatakan tertinggal dengan kampus-kampus di dunia. Misalnya pada awal 2023, Chan meneliti persepsi dan dampak teknologi AI generatif teks di universitas-universitas Hong Kong. Dengan melibatkan 457 mahasiswa dan 180 guru serta staf, penelitian ini menghasilkan kerangka kebijakan pendidikan ekologis AI yang terdiri dari tiga dimensi: pedagogis, tata kelola, dan operasional. Dimensi pedagogis berfokus pada peningkatan pembelajaran melalui AI; tata kelola membahas privasi, keamanan, dan akuntabilitas; sementara dimensi operasional mencakup infrastruktur dan pelatihan.
Bagaimana dengan panduan yang dibuat oleh Kemendikbudristek? Secara ringkas panduan ini menekankan penggunaan Gen AI secara bertanggung jawab dan beretika, dengan menjaga kejujuran akademik, privasi, dan hak kekayaan intelektual. Gen AI juga dapat dimanfaatkan oleh dosen dalam menyusun materi dan menilai mahasiswa, serta membantu mahasiswa dalam tugas dan presentasi. Meski demikian, ada risiko ketergantungan pada AI serta potensi penyebaran informasi yang salah, sehingga pemanfaatan teknologi ini harus dilakukan secara bijak dan kritis.
Jika melihat secara garis besar penggunaan Gen AI versi Kemendikbudristek dan membandingkan dengan kerangka kebijakan penggunaan AI yang ditulis Chan (2023), panduan yang dibuat oleh Kemendikbudristek belum menjelaskan tentang kerangka operasionalnya. Artinya, pemerintah atau lebih spesifiknya kampus masih perlu menyediakan infrastruktur dan pelatihan. Dua hal ini penting dilakukan karena dalam praktiknya mahasiswa dan dosen masih terkendala menggunakan akses tidak terbatas penggunaan Gen AI. Juga masih kurangnya pemahaman mahasiswa dan barangkali juga dosen dalam penggunaan Gen AI yang benar dan tidak melanggar etika akademik.
Perguruan tinggi di luar negeri, misalnya di AS dan Australia, sudah secara rinci memberikan panduan penggunaan Gen AI yang bertanggung jawab dan setiap mata kuliah juga secara jelas memberikan panduan bagaimana cara penggunaan Gen AI termasuk bagaimana teknik sitasi ketika menggunakan informasi dari Gen AI. Namun demikian, meskipun sudah ada aturan tentu pihak kampus juga akan kesulitan untuk mendeteksi setiap pelanggaran yang ada. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk benar-benar memastikan penggunaan AI dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas.
Peran dosen sangat penting dalam memastikan penggunaan Gen AI dan juga perlu lebih kreatif dan inovatif lagi dalam mengajar dan memberikan tugas kepada mahasiswa. Jika dosen masih menggunakan cara lama dengan menugaskan mahasiswa untuk membuat makalah, presentasi, menulis esai, atau membuat summary buku, maka banyak mahasiswa yang hanya mengandalkan Gen AI untuk mengerjakannya.
Dosen pun menjadi bingung bagaimana memberikan penilaiannya karena hasil tulisannya atau pekerjaannya bagus-bagus tetapi belum tentu karya sendiri. Oleh karena itu, perlu ada perubahan cara pengajaran yang lebih pada pemecahan masalah, pembelajaran kooperatif, serta mengaitkan dengan isu-isu kontekstual dan spesifik. Mahasiswa dapat menggunakan Gen AI untuk membantu membuat kerangka konsep atau mencari penjelasan yang lebih mudah dari suatu konsep atau teori.
Mengelola, Bukan Menolak
Untuk memberikan gambaran skenario yang lebih jelas saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana proses pembelajaran dengan menggunakan Gen AI sebagai alat untuk membantu mahasiswa belajar dan tidak tergantung secara berlebihan pada Gen AI.
Dalam sebuah perkuliahan di program doktor di University of Canberra, Australia yang saat ini saya ikuti, saya menemukan hal baru yang membuat saya terkesan dengan cara pengajaran yang dilakukan di kelas oleh seorang profesor di kampus saya. Saya biasa memanggilnya Prof Ben. Dia adalah seorang profesor dalam bidang hukum dan juga mantan advokat yang mendapat tugas mengampu mata kuliah prinsip dasar dalam penelitian.
Dalam perkuliahan kali ini, dia mengajak mahasiswa untuk belajar tentang etik dalam penelitian. Materi ini tentu sangat penting dan perlu dikuasai oleh mahasiswa doktor karena sangat menentukan keberhasilan studi seorang mahasiswa dalam proses candidature-nya. Seperti perkuliahan di Indonesia, di sini juga ada sesi yang berisi ceramah atau penjelasan materi. Ada juga sesi diskusi atau lebih tepatnya mengerjakan studi kasus untuk menerapkan pemahaman konsep yang telah disampaikan oleh pengajar.
Dalam aktivitas ini mahasiswa saling berbagi pemahaman dalam kelompok kecil. Kemudian diajak untuk berbagi dengan kelompok besar. Pada sesi berbagi ini mahasiswa mencoba untuk menyampaikan pendapat, tentu dengan argumen dan bukti yang kuat dari literatur yang ada. Peran pengajar di sini lebih banyak pada upaya memfasilitasi peserta untuk berdiskusi dengan memberikan pertanyaan yang memperkuat pemahaman dan pendalaman topik yang sedang dibahas di dalam perkuliahan.
Dalam proses diskusi peserta juga dapat mencari sumber bacaan di internet atau menggunakan Gen AI, seperti Chat GPT atau Copilot untuk mencari definisi suatu konsep atau istilah yang belum dipahami oleh peserta. Jadi penggunaan AI di sini sebagai pendukung dalam pembelajaran bukan untuk mengerjakan tugas.
Aktivitas pembelajaran lain dan juga tidak kalah menarik adalah presentasi kelompok dengan diawali membaca artikel disertai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali isi dari artikel. Mahasiswa juga diminta memaparkan temuan penting dari artikel yang dibaca dengan disesuaikan dengan konsep tentang etik yang sudah dijelaskan dalam materi perkuliahan. Mahasiswa juga diminta untuk membuat slide presentasi yang hanya berisi gambar atau diagram ilustrasi dengan maksimal 20 kata.
Dalam proses pembuatan slide mahasiswa bisa menggunakan Gen AI dan boleh untuk mencari garis besar dari artikel itu dengan bantuan Gen AI untuk sekadar memudahkan memahami keseluruhan isi artikel. Pada bagian yang penting mahasiswa bisa membaca lebih teliti lagi untuk memperkuat pemahaman. Ketika presentasi mahasiswa tidak banyak mengandalkan pada teks tetapi bagaimana bisa mengartikulasikan pemahaman kita untuk memecahkan masalah etik dalam penelitian sebagaimana dijelaskan dalam kasus.
Kemampuan refleksi dan analisis mendapatkan porsi yang cukup dalam mengerjakan tugas presentasi kelompok ini.
Dengan mengerjakan tugas presentasi kelompok semacam itu, mahasiswa tidak sekadar mencari jawaban yang sudah ada di artikel tetapi juga dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan dengan mencoba membangun pengetahuan baru secara kolaboratif.
Jika kita mengacu pada Taksonomi Bloom, tingkatan keterampilan berpikir mulai dari level rendah sampai tinggi benar-benar dipraktikkan: mengingat, memahami, menerapkan, menjabarkan (analisis), pemaduan (sintesis), dan penilaian (evaluasi). Dengan model pembelajaran seperti ini, mahasiswa akan benar-benar mempelajari materi perkuliahan dan pada saat yang bersama menerapkan konsep dengan mengacu permasalahan yang disimulasikan dengan contoh kasus.
Ada tugas menulis esai sebagai tugas akhir mata kuliah tetapi karena tugas menulis esai harus dikaitkan dengan permasalahan kita sendiri sehingga sulit untuk hanya sekadar mengandalkan Gen AI untuk membuatkan esai sesuai dengan prompt yang kita berikan. Bukan maksud untuk melarang penggunaan Gen AI tetapi bagaimana Gen AI itu bisa dimanfaatkan untuk memperdalam pengetahuan dan mempertajam kemampuan berpikir kritis dan kreativitas kita.
Kita menyadari bahwa Gen AI sering juga memberikan informasi yang keliru dan bias apalagi jika prompt yang kita berikan berkaitan dengan hal spesifik yang belum ada di data base internet. Sehingga kita perlu mengelola dengan baik kehadiran Gen AI dalam dunia pendidikan bukan menolaknya sama sekali.
(Waliyadin, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mahasiswa Ph.D di University of Canberra)
Artikel ini telah dipublikasikan pada Media Online detik.com pada 23 Oktober 2024 Pukul 15.27 WIB