Yacinta Terus Optimis Mengajar Bahasa Indonesia di Australia
radioaustralia.net.au - Pengajaran budaya dan bahasa Indonesia di Australia pernah mencapai puncaknya di era akhir tahun 1990an dan awal 2000an. Inilah kisah Yacinta Kurniasih, sosok guru yang terus optimis - di tengah pelbagai tantangan - menyebarkan budaya dan bahasa Indonesia di benua kanguru.
Yacinta bersenandung kecil, mengawali pertemuan dengan ABC.
"Sengaja saya nyanyikan irama ini, karena barangkali gara-gara lagu itulah saya kini berada di Australia," tuturnya.
Irama lagu yang ia maksud adalah, salah satu jingle atau lagu tema dari program Radio Australia di era 1980an. Ketika itu Yacinta masih kecil - ayahnya di rumah di Kedungjati, dekat Salatiga, suka mendengarkan Radio Australia. Yacinta delapan bersaudara (tujuh di antaranya perempuan) - ayahnya yang pegawai PJKA dan ibunya yang bekerja di Perhutani, mendorong kesemua anaknya untuk bersekolah setinggi mungkin.
"Saya ingin jadi jurnalis atau diplomat, ketika itu, tanpa tahu benar apa artinya kedua profesi tersebut," katanya.
Tapi kemudian ia menjadi guru. Dan, guru yang mengabdi jauh dari tanah air - di benua kanguru. Di akhir tahun 1990an, Yacinta melihat ada peluang menjadi guru tamu di negara bagian Tasmania. Ia baru saja menyelesaikan S1 Jurusan Bahasa Inggris di IKIP Yogyakarta. Ia pun mengambil kesempatan itu dan diterima dengan kontrak selama dua tahun. "Saat itu, saya sampai mengajar budaya dan bahasa Indonesia di 38 sekolah di Tasmania," tutur Yacinta yang dikaruniai satu anak.
Ia mengajar di berbagai tingkat pendidikan di Tasmania, sejak TK hingga universitas. Sebenarnya bakat sebagai guru itu sudah terlihat sejak Yacinta mahasiswa. Di kampusnya ia mulai mengajar bahasa Inggris kepada mahasiswa lainnya, serta mengajar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa kepada mahasiswa asing yang ada di Yogya. Usai menjalani kontraknya itu, Yacinta memutuskan untuk meneruskan sekolah dan menyelesaikan Masternya di Universitas Tasmania (Utas). Meski kontrak resminya telah usai, namun Yacinta yang hobi olahraga beladiri ini, tetap mengajar bahasa Indonesia di berbagai sekolah di Hobart. Awal 2000an setelah lulus Master, Yacinta kemudian memilih tawaran mengajar di Kajian Indonesia di Universitas Monash di Melbourne.
Sejak itu, penari yang juga menyukai sastra ini, bertahan terus hingga sekarang. "Saya optimis," katanya, saat ditanya masa depan pengajaran budaya dan bahasa Indonesia di Australia.
Awal tahun 2000an itu, sebenarnya, menandai terjadinya penurunan minat pelajar Australia mempelajari bahasa Indonesia. Fenomena ini terus menurun hingga beberapa tahun yang lalu. Faktor eksternal seperti perubahan politik di Australia, dan juga pemberitaan media, ternyata berpengaruh besar bagi perkembangan pengajaran budaya dan bahasa Indonesia.
"Tapi sebagai praktisi, saya melihat dua tahun terakhir mulai ada gejala pemulihan minat dan jumlah pelajar yang mengambil bahasa Indonesia," jelas Yacinta, yang juga aktif di pelbagai organisasi warga Indonesia yang ada di Australia.
Ia melihat adanya aktivisme dari warga masyarakat, baik orang Indonesia maupun orang Australia, yang secara kolektif bersama-sama mengupayakan pulihnya kembali minat belajar budaya dan bahasa Indonesia. "Barangkali karena di kalangan warga Australia sendiri muncul kesadaran, mau tidak mau, tidak ada pilihan kecuali harus tahu tetangga terbesarnya, yaitu Indonesia," jelas Yacinta, yang aktif terlibat mendorong anak-anak muda Australia untuk datang langsung ke Indonesia dan menjadi voluntir di sekolah dan universitas di Indonesia.
Optimisme Yacinta itu beralasan, jika melihat fokus pemerintahan Australia saat ini yang secara serius menyiapkan dana besar bagi kajian Indonesia, yang kebetulan pula Universitas Monash menjadi pusatnya, bekerja sama dengan Universitas Melbourne dan ANU di Canberra. Yacinta tak menghabiskan waktunya melulu mengajar budaya dan bahasa. Ia juga begitu aktif dalam kegiatan sosial, termasuk menjadi Direktur Kemitraan Perhimpunan Indonesia Belajar (PIB). PIB dibentuk guna menjembatani hubungan antarwarga kedua negara, Australia dan Indonesia. Saat ini, salah satu programnya adalah menyalurkan beasiswa kepada anak-anak SMA di sejumlah daerah, dengan sistem pendampingan. Artinya, penerima beasiswa sekaligus didampingi kakak asuh - para mahasiswa Master dan PhD asal Indonesia yang ada di Australia. PIB juga melakukan kegiatan penerbitan. Pengalaman orangtua murid asal Indonesia yang menyekolahkan anak-anaknya di Australia, dikumpulkan dalam tulisan yang kemudian dibukukan. Yacinta, tampaknya, begitu sibuk. "Saya sedang menyiapkan penerbitan koleksi puisi yang pertama," tuturnya.